SEMRA Çelebi tak lagi pakai jilbab. Menurut gadis Turki ini, tidak perlu pakai jilbab untuk jadi muslimah yang baik. Toh tidak mudah mengambil keputusan untuk menanggalkan jilbab. Belum lama ini, Çelebi membuat page Facebook khusus: I took off my Hijab.
Jilbab-jilbabnya masih tergeletak rapi di lemari, di rumah orangtuanya. Semra Çelebi menyimpan dan tak berencana membuang jilbab-jilbab yang dulu dikenakannya. Jilbab adalah bagian dari masa lalu, tapi bukan lagi identitasnya sekarang. Sekarang Semra tinggal di Amsterdam. Ia merasa jadi orang biasa, anonim dan bebas.
Semra memakai jilbab untuk pertama kalinya pada usia 10 tahun. Ia mengikuti contoh adiknya yang bersekolah di SD Islam. Semra sendiri bersekolah di SD Kristen di Barneveld, Belanda. Bagi ayahnya yang berasal dari keluarga Turki konservatif, jilbab sangat penting. Awalnya, Semra harus membiasakan diri ketika baru memakai jilbab.
“Rasanya tidak nyaman, karena saya tak tahu bagaimana teman-teman akan bereaksi. Saya ingat, teman-teman menarik saya masuk ke dalam kelas karena saya tak berani menampakkan diri. Tapi saya diterima dengan baik. Kalau lelah bermain dan gerah, saya lepas saja jilbabnya.”
LAP DAPUR
Reaksi terhadap jilbabnya kadang negatif. Seseorang pernah menjulukinya ‘lap dapur’. Salah satu momen menyakitkan terjadi ketika ia melamar ke perusahaan mainan yang menolaknya karena “tidak tega menyakiti pelanggan dengan mempekerjakan gadis berjilbab.”
Memakai jilbab jadi punya makna khusus bagi Semra. Ia lebih melihatnya sebagai bagian dari identitas religius. Tuhan tidak ingin perempuan berpakaian seksi. Dalam berbagai debat, ia membela pemakaian jilbab dengan menggebu-gebu. Ia pandai bicara dan terlihat menonjol.
TITIK BALIK
Namun kemudian datang titik balik. Semra kuliah hukum di Universiteit van Utrecht. Dan sempat magang di Sheffield, New York dan Brussels. Ketika meninggalkan Barneveld yang kecil dan penuh aturan, Semra mulai ragu. Setelah membaca berbagai buku, Semra memutuskan membuka jilbabnya.
“Jilbab tidak cocok lagi dengan bagaimana saya ingin menjalankan agama. Bagi saya sekarang, tidak perlu pakai jilbab untuk jadi muslimah yang baik. Saya perlu waktu enam bulan sebelum benar-benar melepas jilbab. Sangat sulit. Jilbab bukan hanya sekadar selembar kain. Ini bagian identitas saya pakai enam belas tahun. Saya juga takut dengan reaksi dari sekitar.”
DUKUNGAN
Sekarang, sudah tiga tahun ia melepas jilbab. Dan Semra harus kembali membela identitasnya. Kali ini sebagai muslimah tanpa jilbab. Ayahnya tidak senang dengan keputusannya. Semra juga menerima reaksi negatif dari sekeliling. Namun ia tak goyah. Belum lama ini Semra membuat page Facebook untuk memberi dukungan terhadap perempuan yang telah atau berencana melepas jilbab.
Dalam waktu tiga minggu, sekitar seratus perempuan bergabung. Beberapa gadis menulis, sama seperti Semra, mereka takut akan reaksi sekitar. Seorang ayah tak mau bertemu putrinya selama beberapa bulan karena sang putri melepas jilbab. Menurut Semra, page Facebook-nya tidak bermaksud menyuruh perempuan melepas jilbab.
“Intinya adalah membuat pilihan sendiri. Memang tidak selamanya mudah. Bagi saya, membuat pilihan sendiri tercermin dari keputusan melepas jilbab. Namun bisa juga hal lain. Seorang kolega, misalnya, bercerita bahwa ayah mertuanya mengacuhkannya selama lima tahun karena ia hidup bersama putri sang ayah tanpa menikah. Itu sebenarnya dilarang. Baginya, keputusan tinggal bersama adalah tindakan ‘melepas jilbab’-nya.”
CUMA EQUIPMENT
Jilbab-jilbabnya masih tergeletak rapi di lemari, di rumah orangtuanya. Semra Çelebi menyimpan dan tak berencana membuang jilbab-jilbab yang dulu dikenakannya. Jilbab adalah bagian dari masa lalu, tapi bukan lagi identitasnya sekarang. Sekarang Semra tinggal di Amsterdam. Ia merasa jadi orang biasa, anonim dan bebas.
Semra memakai jilbab untuk pertama kalinya pada usia 10 tahun. Ia mengikuti contoh adiknya yang bersekolah di SD Islam. Semra sendiri bersekolah di SD Kristen di Barneveld, Belanda. Bagi ayahnya yang berasal dari keluarga Turki konservatif, jilbab sangat penting. Awalnya, Semra harus membiasakan diri ketika baru memakai jilbab.
“Rasanya tidak nyaman, karena saya tak tahu bagaimana teman-teman akan bereaksi. Saya ingat, teman-teman menarik saya masuk ke dalam kelas karena saya tak berani menampakkan diri. Tapi saya diterima dengan baik. Kalau lelah bermain dan gerah, saya lepas saja jilbabnya.”
LAP DAPUR
Reaksi terhadap jilbabnya kadang negatif. Seseorang pernah menjulukinya ‘lap dapur’. Salah satu momen menyakitkan terjadi ketika ia melamar ke perusahaan mainan yang menolaknya karena “tidak tega menyakiti pelanggan dengan mempekerjakan gadis berjilbab.”
Memakai jilbab jadi punya makna khusus bagi Semra. Ia lebih melihatnya sebagai bagian dari identitas religius. Tuhan tidak ingin perempuan berpakaian seksi. Dalam berbagai debat, ia membela pemakaian jilbab dengan menggebu-gebu. Ia pandai bicara dan terlihat menonjol.
TITIK BALIK
Namun kemudian datang titik balik. Semra kuliah hukum di Universiteit van Utrecht. Dan sempat magang di Sheffield, New York dan Brussels. Ketika meninggalkan Barneveld yang kecil dan penuh aturan, Semra mulai ragu. Setelah membaca berbagai buku, Semra memutuskan membuka jilbabnya.
“Jilbab tidak cocok lagi dengan bagaimana saya ingin menjalankan agama. Bagi saya sekarang, tidak perlu pakai jilbab untuk jadi muslimah yang baik. Saya perlu waktu enam bulan sebelum benar-benar melepas jilbab. Sangat sulit. Jilbab bukan hanya sekadar selembar kain. Ini bagian identitas saya pakai enam belas tahun. Saya juga takut dengan reaksi dari sekitar.”
DUKUNGAN
Sekarang, sudah tiga tahun ia melepas jilbab. Dan Semra harus kembali membela identitasnya. Kali ini sebagai muslimah tanpa jilbab. Ayahnya tidak senang dengan keputusannya. Semra juga menerima reaksi negatif dari sekeliling. Namun ia tak goyah. Belum lama ini Semra membuat page Facebook untuk memberi dukungan terhadap perempuan yang telah atau berencana melepas jilbab.
Dalam waktu tiga minggu, sekitar seratus perempuan bergabung. Beberapa gadis menulis, sama seperti Semra, mereka takut akan reaksi sekitar. Seorang ayah tak mau bertemu putrinya selama beberapa bulan karena sang putri melepas jilbab. Menurut Semra, page Facebook-nya tidak bermaksud menyuruh perempuan melepas jilbab.
“Intinya adalah membuat pilihan sendiri. Memang tidak selamanya mudah. Bagi saya, membuat pilihan sendiri tercermin dari keputusan melepas jilbab. Namun bisa juga hal lain. Seorang kolega, misalnya, bercerita bahwa ayah mertuanya mengacuhkannya selama lima tahun karena ia hidup bersama putri sang ayah tanpa menikah. Itu sebenarnya dilarang. Baginya, keputusan tinggal bersama adalah tindakan ‘melepas jilbab’-nya.”
CUMA EQUIPMENT
Di akun facebook-nya, I took off my Hijab is on Facebook, bermacam komentar tampil atas keputusannya melepas jilbab. Dari Indonesia ada yang menulis, Kholid Grandong Munadhor From Indonesia With Peace Hijab is Choice. Wearing or not is not made you as a Muslim or not Muslim. Jilbab adalah pilihan, memakai atau tidak memakai (jilbab) bukanlah petunjuk Anda seorang muslim atau bukan muslim.
Ada lagi yang menulis Hijab is not sign that u have clean heart… Its just equipment, to make warm when we getting cold. : Jilbab bukan petunjuk anda bersih hati..itu hanya alat untuk membuatmu hangat ketika kedinginan.
Tentu saja ada yang bereaksi sebaliknya, dengan berceramah panjang lebar, sembari mengutip ayat-ayat kewajiban berjilbab dan ancaman-ancaman bagi mereka yang membukanya.Ada lagi yang menulis Hijab is not sign that u have clean heart… Its just equipment, to make warm when we getting cold. : Jilbab bukan petunjuk anda bersih hati..itu hanya alat untuk membuatmu hangat ketika kedinginan.
http://asaborneo.blogspot.com/2011/03/kisah-gadis-turki-yang-melepas.html