Selasa, 22 Maret 2011

Banyak Guru Agama Bersikap Intoleransi

shutterstock Ilustrasi: Berdasarkan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Center for Religious and Cross-cultural Studies, banyak guru agama justru menunjukkan sikap intoleransi yang berlebih dibandingkan penduduk pada umumnya.

 
 Persoalan intoleransi ternyata juga mengemuka pada segmen-segmen lembaga pendidikan. Karena itu, pendidikan lintas agama dibutuhkan agar para pengajar mampu bertoleransi terhadap pemeluk agama lainnya.
Di Indonesia, terdapat dikotomi antara agama yang bersifat radikal dan liberal. Namun demikian, pemerintah tak pernah mendudukkan keduanya untuk berdialog.
-- Wening Udasmoro
Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogya Siti Syamsiyatun, Selasa (22/3) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengungkapkan, berdasarkan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), banyak guru agama justru menunjukkan sikap intoleransi yang berlebih dibandingkan penduduk pada umumnya.
Menurut Siti, sikap intoleransi di kalangan para pengajar muncul karena kurangnya kemauan kelompok-kelompok tersebut untuk berinteraksi dengan para pemeluk agama lain. Kalaupun para pengajar agama tersebut mempelajari agama lain, hal itu masih dilakukan dalam konteks atau sudut padang mereka sendiri-sendiri.
"Indonesia sebenarnya memiliki sejarah kehidupan beragama yang relatif baik dibandingkan negara-negara di Eropa, di mana perang besar antar pemeluk agama pernah menjadi sejarah buruk mereka. Namun, orang-orang Eropa banyak belajar dari pengalaman tersebut. Karena itu, sebelum hancur lebur seperti Eropa, Indonesia harus belajar terlebih dulu," ucapnya.
Tak dijembatani
Sementara itu, Wakil Direktur ICRS Yogya Wening Udasmoro mengatakan, pascareformasi di Indonesia bermunculan banyak agama. Seperti halnya etalase toko, semua orang bebas memilih agama apa saja.
"Di Indonesia, terdapat dikotomi antara agama yang bersifat radikal dan liberal. Namun demikian, pemerintah tak pernah mendudukkan keduanya untuk berdialog," kata Wening.
Sebaliknya, pemerintah justru tidak memberikan ruang dan tak berani menjamin kebebasan beragama, khususnya bagi kalangan minoritas. Tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negara dengan latar belakang apapun akhirnya dipertanyakan.